Oleh: Salamuddin Daeng (mantan akivis mahasiswa 1998 dan pakar ekonomi politik)
Jakarta || Dunia kayaknya bingung melihat kehebohan yang terjadi dalam proses pemilu Indonesia sekarang ini. Mengapa bingung? karena banyak para pegiat demokrasi yang menyoal atau menolak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan warga negara Indonesia yang berumur 40 tahun ke bawah untuk mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres.
Bahkan penolakan terhadap putusan MK yang membuka ruang partisipasi anak muda tersebut, keluar dari mulut orang orang yang notabene adalah pejuang demokrasi liberal paling radikal dan militan. Bukankah dalam keyakinan kelompok penganut demokrasi liberal ini suara rakyat adalah suara tuhan katanya. Jika seekor kucing pun dipilih oleh rakyat dia boleh menjadi pemimpin. Itulah kira kira pandangan mereka itu.
Dunia tentu saja bingung karena nilai dasar yang dianut dalam demokrasi ini adalah setiap orang yang memiliki hak memilih maka dia memiliki hak dipilih. Jikalau dia yang mencalonkan diri untuk dipilih tersebut dianggap tidak kompeten, kurang pengalaman, kurang hebat, kurang pantes, maka rakyat tidak akan memilihnya. Rakyat pemilih akan memilih yang lain bisa lehih tua atau bisa lebih muda. Terserah rakyat saja. Dunia demokrasi pasti menganggap aneh kalau anak muda dilarang atau dihalau agar tidak bisa mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai capres atau cawapres. Ini demokrasi apaan?
Gebrakan politik menjebol ke atas yang dilakukan Gibran Rakanuming Raka Wali kota Solo yang sekarang berumur 37 tahun, memang membuat asam lambung lawan politiknya kumat. Saking kesalnya penolakan bahkan disampaikan dengan cara cara mencela, mencibir, atau memperolok olok generasi muda, dengan mengatakan anak ingusan, bocah cilik dan berbagai olok olokan yang lain. Sementara di belahan dunia lain banyak sekali pemimpin muda yang hebat. Sejarah juga mencatat bawa peristiwa besar di dunia karena daya dobrak pemimpin muda. Mengolok olok anak muda seperti ini kayaknya kurang pas dengan jaman ini.
Kehadiran Gibran Konon katanya akan membuat pemilu tidak akan berlangsung secara jurdil karena presiden akan memihak pada anaknya. Jadi ini sebenarnya bukan penolakan terhadap putusan MK. Mengaitkan putusan MK dengan kehadiran Gibran dalam kancah pertarungan RI 2 adalah salah kaprah! Tidak ada kaitanya secara hukum.
MK hanya mengadili suatu norma yakni apakah suatu UU bertengan dengan Undang Undang dasar. Menolak anak muda mencalonkan diri sebagai cawapres jelas bertentangan dengan UUD. Putusan MK yang pro anak muda jelas putusan yang progressif.
Lagi pula putusan MK kali ini cukup adil, karena menyediakan peluang yang sama bagi semua pemilih usia 40 tahun ke bawah untuk mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres. Ini juga menyediakan peluang yang sama bagi partai partai untuk mencari cawapres dari anak muda dalam meraih dukungan 60 juta pemilih.
Adanya kekuatiran presiden Jokowi akan membangun dinasti jika Gibran terpilih, tampaknya ketakutan yang dibuat buat. Bagaimana mungkin presiden yang selalu dikatakan petugas partai akan membangun dinasti melalui anaknya. Dinasti kok mencalonkan diri, minta untuk dipilih, padahal belum tentu menang pula. Dinasti itu absolut kekuasaanya, bukan kekuasaan seorang presiden yang sering dibuli sebagai petugas partai. Kayaknya salah ini memilih istilah.(Red)
Hp. Salamuddin Daeng (081296411324)